Dikutip dari http://tomita.web.id/
Sesuatu telah memanggil saya untuk menuliskan ini; sesuatu yang sebenarnya pernah saya tulis, tapi terlalu singkat dan tidak membawa informasi baru apapun. Berbeda dengan beberapa tempat di Internet yang menuliskan cerita tentang radio ini dengan isi yang kalo tidak persis sama, isinya hanya dimodifikasi di sana sini – saya meniatkan menulis ini dengan khusus berkunjung langsung ke lokasinya, bertanya ke sana kemari, memotret, dan tentu saja dengan apapun yang bisa saya temukan di Internet.
Sebelumnya, saya mencoba untuk mereka-reka bagaimana jalan yang harus saya tempuh ke Pangalengan. Persisnya adalah di tempat yang sekarang menjadi area perkemahan yang letaknya di kaki gunung Puntang itu. Dengan menggunakan Google Earth segalanya menjadi mudah, apalagi sudah ada foto-foto dari Panoramio yang diintegrasikan ke beberapa titik. Saya agak kaget dan girang karena menemukan penanda lokasi Radio Malabar yang sangat khas: kolam cinta itu. Sebuah kolam yang dulu terletak tepat di depan bangunan Radio Malabar, yang kini dijuluki kolam cinta karena bentuknya yang mirip hati, terlihat dengan sangat jelas menggunakan Google Earth pada latitude-longitude 7°6’58.61″S dan 107°36’22.26″E :
Sebagai perbandingan, ini adalah foto Radio Malabar (salah satu dari koleksi Museum Tropen di Belanda) yang cukup jelas memberikan gambaran tentang kolam yang ada di depannya :
Wikipedia sudah cukup menjelaskan sejarah radio ini. Namun baik versi Inggris maupun Indonesianya nampaknya tidak lengkap. Saya bisa mengatakan ini karena seseorang telah menuliskan warisan peninggalan informasi dari Klaas Dijkstra, seorang warga Belanda yang bekerja dari tahun 1920 hingga 1945 di Radio Malabar sebagai teknisi yang merakit pemancar. Wikipedia menyebutkan bahwa yang digunakan di Radio Malabar adalah peralatan dari Telefunken, namun situs tersebut mengatakan bahwa sebelum itu yang digunakan adalah Pemancar Ark buatan Poulsen yang dibeli oleh Dr. de Groot (pendiri Radio Malabar) di Amerika pada tahun 1917, dalam perjalanannya kembali ke Indonesia dari Belanda (yang dengan alasan keamanan harus berputar sehingga bisa mampir ke Amerika).
Sayangnya justru pada upacara peresmian stasiun pemancar ini tanggal 5 Mei 1923, pemancar Ark buatan Poulsen itu gagal berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak ada keterangan pasti tentang mengapa itu bisa terjadi, tapi Wikipedia mengatakan bahwa penyebabnya adalah sambaran petir, sehingga upacara peresmiannya harus ditunda (Jadi persisnya peresmian itu kapan ?). Sebelumnya sebenarnya pemerintah Belanda telah membeli dua peralatan pemancar buatan Telefunken pada akhir tahun 1918. Satu dipasang di Belanda, di Kootwijk Radio dan satu lagi diinginkan pemerintah Belanda ketika itu dipasang di Malabar. Tapi Dr. de Groot bersikeras dengan pendiriannya untuk tetap memasang pemancar Ark-Poulsen-nya itu, sehingga sempat terjadi ketegangan antara dia dan otoritas Belanda tentang hal ini di Hague. Ketika masa reparasi sedang berjalan, Dr. de Groot bahkan tidak berupaya untuk memasang peralatan dari Telefunken itu, padahal Ratu Wilhelmina ketika itu benar-benar menunggu pesan radio dari Indonesia.
Menurut informasi dari situs ini, Dr. de Groot meninggal pada 1 Agustus 1927. Tidak ada kejelasan apakah peralatan Telefunken itu akhirnya dipasang olehnya atau setelah ia meninggal. Yang jelas peralatan yang konon lebih efisien dari pemancar Ark Poulsen itu akhirnya memang digunakan di Radio Malabar. Bila dilihat dari spesifikasi tertulisnya, saya sepakat kalau memang pemancar Ark Poulsen itu tidak efisien. Bayangkan saja, daya yang dialirkan ke antena adalah sebesar 2400 kilowatt, sedangkan dari Telefunken hanya membutuhkan 400 kilowatt saja. Menurut ukuran sekarang ini, 400 kilowatt itu saja sudah besaran yang ‘gila’, tapi dilihat dari perbandingannya pada saat itu jelas Telefunken lebih hemat energi. Bahkan dikatakanlebih bisa diandalkan. Barangkali kita bisa memahami mengapa Dr. de Groot bersikeras dengan Poulsen karena dia sendiri yang membelinya di Amerika.
Ketika itu jelas belum ada GPS, entah apakah sudah ada altimeter, dan segala peralatan pendukung untuk menentukan lokasi. Tapi nampaknya memang ketika itu pengetahuan tentang geografi, navigasi, propagasi, dan transmisi gelombang sudah luar biasa memadai. Saya ingin mengatakan ini berkaitan dengan pertimbangan lokasi: “Mengapa pemancar ini mesti didirikan di lokasi yang begitu terpencil ?” Apakah karena memang kebetulan sebelumnya di tempat ini sudah ada Bosscha dengan perkebunan Malabarnya sehingga sejauh tertentu bisa memberikan dukungan infrastruktur, atau memang karena sebuah perhitungan tertentu ? Sebuah dokumen menyebutkan bahwa pada masa setelah Perang Dunia I, mode komunikasi radio yang dimungkinkan baru berupa telegrafi (menggunakan kode morse) dan itu hanya bisa dilakukan pada frekuensi dengan gelombang yang panjang. Untuk menentukan lokasi demi efisiensi transmisi jelas harus memperhitungkan macam-macam faktor di angkasa antara Indonesia dan Belanda (sejauh itu!), berkaitan dengan apakah sebuah transmisi mungkin mengalami skip (gelombang radio tidak terpantul kembali ke bumi dari lapisan ionosfer) atau bounce (kebalikannya, dipantulkan kembali ke bumi). Entah bagaimana persisnya menentukan, tapi saya kira Dr. de Groot mestinya mulai dari batasan kemampuan perangkat yang hanya bisa bekerja pada gelombang panjang, baru pada frekuensi kerja yang digunakan itu bisa efektif pada lokasi mana (tetap saja menjadi misteri mengapa lokasinya mesti di tempat seterpencil itu!). Tanpa menyebutkan sumbernya, sebuah situs menulis bahwa Radio Malabar ketika itu bekerja pada 49,2 Khz dengan panjang gelombang 6100 meter. Catu dayanya adalah sebesar 3,6 Megawatt (sebuah besaran yang tidak konsisten dengan data sebelumnya; pembangkit listrik kala itu nampaknya belum sampai hingga satuan mega). Anyway, soal pemilihan lokasi ini barangkali bisa dijadikan studi tersediri, meskipun mungkin kepentingan praktisnya tidak ada :)
Karena dibangun di lokasi terpencil dan memerlukan infrastruktur pendukung yang tidak sederhana, maka di sekitar Radio Malabar dibangun kompleks untuk para pekerjanya, lengkap dengan berbagai sarana pendukung. Kompleks itu dulu disebut Radiodorf atau dikenal oleh masyarakat sekitar sebagai Kampung Radio. Sebuah situs yang menamakan dirinya “A World of Wireless, Virtual Radiomuseum” telah ditutup pada tahun 2010 memuat gambarnya. Beruntung seseorang telah menyimpan gambar Radiodorf tesebut pada blognya :
Karena adanya sarana akomodasi yang lengkap seperti itu, maka tempat yang berada di kaki gunung Puntang ini disebut juga oleh orang-orang sebagai negara Puntang. Saya lebih sepakat dengan rasionalisasi ini ketimbang adanya cukup banyak situs dengan isi 100 persen sama (coba search dengan “negara puntang” pada Google) yang mengatakan bahwa dulu pernah ada sebuah kerajaan dengan nama Negara Puntang, yang antara lain terbukti dengan adanya temuan (megalitik ?) berupa batu-batuan, yang dinamakan batu korsi, batu kaca-kaca, dan batu kompaan. Saya sempat tanya-tanya, tidak ada yang tahu tentang batu-batu itu. Kalaupun memang ada, bagaimana bisa diketahui pasti bahwa batu-batu itu berasal dari sebuah kerajaan di situ ? (saya akan ingat tentang ini dan akan saya selidiki kalau saya ke sana lagi).
Secara keseluruhan yang saya temukan berkenaan dengan Radiodorf adalah puing-puing dan semuanya benar-benar tidak memberikan makna sama sekali :
Tidak hanya itu, obyek utamanya sendiri, Radio Malabar, juga tinggal sedikit, seonggok sisa dindingnya :Ada beberapa versi tentang mengapa Radio Malabar dihancurkan. Ada yang bilang dibom oleh Jepang, dihancurkan oleh pribumi Indonesia sendiri, bagian dari kejadian Bandung Lautan Api, dan sebagainya. Sebuah plang di jalan masuk menuju areal perkemahan gunung Puntang nampaknya berusaha menjelaskan ini, tapi sayang sekali posisinya sungguh tidak tepat untuk dibaca, apalagi tulisannya sudah kusam dan terkena pantulan sinar matahari :Saya sudah memotret bagian per bagian plang ini dengan resolusi yang maksimal kamera saya (16 megapixel). Saya akan ketik ulang semua kata-kata di situ pada bagian kedua entri blog ini. Tentu saja dengan informasi lainnya lagi yang terkait.
Sejak selesai menulis bagian pertama, saya terus melakukan search di Internet. Saya menemukan cukup banyak informasi menarik dari beberapa situs di Belanda, yang belum pernah dituliskan siapapun dalam bahasa Indonesia. Untuk itu terpaksa saya harus baca teks dalam bahasa Belanda yang tidak mudah. Kemudian, karena saya juga mem-posting tulisan pertama ke grup Orari di Facebook, ada beberapa tanggapan yang akan melengkapi tulisan saya selanjutnya. Namun demikian terlebih dahulu saya akan menuliskan ulang apa yang ada di plang itu karena, mau tidak mau, itu satu-satunya informasi ‘resmi’ yang ada di Gunung Puntang tentang Radio Malabar.
Tidak bisa semuanya saya baca dengan baik, meski sudah saya potret dengan resolusi maksimal dan di zoom sedekat mungkin. Tulisannya sudah kabur karena cuaca dan hujan. Tapi sebagian besar bisa terungkap. Entah pembuat plang ini ceroboh atau tidak memeriksa ulang hasilnya. Ada bagian yang ditulis ulang sama persis. Bahasa Indonesia-nya pun tidak cermat. Berikut ini teks yang saya coba tulis itu. Saya tulis persis (termasuk bagian yang diulangi). Yang ada titik-titiknya menandakan bagian yang tidak bisa saya baca.
–
RADIO MALABAR – SKALA WAKTU – ZEITSKALA
Sumber Mr. Sugiono
1906. Cornelius Johannes de Groot kuliah …… Elektro di Universitas Karlsruhe / Jerman dan tamat dengan gelar Dipl.Ing.
1908. de Groot dikirim tugas ke Indonesia, awalnya pada dinas Telegraf, lalu pada dinas Radio PTT Bandung. Alasan, de Groot sejak umur 15 tahun menjadi amatir radio dan punya pengalaman praktek, bukan saja pada merangkit pesawat penerima sedangkan juga kepada merangkit pesawat pemancar.
1911. Di bawah pimpinan de Groot didirikan stasiun radio telegraf yang pertama di Indonesia, yaitu pada Sabang, Pulau Weh.
1913. ……. “Penelitian Komunikasi Radio langsung Belanda – Jawa” memohon lisensi dari Kementrian Kolonl Belanda dan dari Kementrian Perhubungan Laut Belanda. Permohonan tsb Pada April 1913 dikabulkan anggota panitia antara lain Prof. Ir. C. L. van der Bilt dan Laksamana van den Bosch.
1915. Kementrian Kolonl Belanda memberi tugas kepada perusahaan Telefunken untuk menyusun …… dari sebuah ….. radio ……….
Dengan itu ….. bahwa ……. bisa terrealisir. ….. langsung antara …. meliputi jarak …
1916. Telefunken membuat peralatan penerima yang akan dikirim ke Jawa untuk melakukan penelitian propagasi dan percobaan menerima sinyal yang terpancar dari Eropa (Nauen, Paris dll). Dari AS dipesan sebuah pemancar busur dengan daya 100-160kW yang bisa kerja pada frekwensi 43 – 50 Khz. Pemancar tersebut dikirim ke Bandung dan dipasang di dalam gedung awal di Malabar. Pada tahun 1918 pemancar tersebut sudah beroperasi.
Pembangunan antena bukit sementara …… pemancar itu akan ……. blokade selama …….. PD-I …. Dari Jawa …….. ke Honolulu ………. dari AS melintasi ………….
1917. Atas saran Dr. Ing N. Koomans, seorang perintis teknologi radio di Belanda – Mentri Koloni Belanda memilih teknologi alternator untuk merealisir sarana komunikasi radio dari Belanda dan Jawa, dengan memesan alternator (?) dari Telefunken dengan daya sebesar 800KW.
Dr. Ing. De Groot, kepala dinas radio di PTT Banding, punya pendapat lain. Dia lebih percaya pada teknologi pemancar sistem busur. Dia mengusul mendirikan pemancar busur dengan daya antara 2,4 s/d 3,6 MW, dengan sistem Poulsen. Pembuatan akan dilakukan dengan matril dan SDM lokal Bandung tanpa diperlukan pertolongan pihak (perusahaan asing) lain.
Wäh…sich der Hollandische Kolo..inister auf Anraten des Radiopioniers Dr. Ing N. Koomans fűr einen Maschinensender vom System Telefunken mit elner Leistung von ca. 800kW entschied.
Favorisierte Dr. Ing. De Groot den Bau eines wesenlich grőßeren.
Lichthogensenders von 2,4 bis 3,6MW nach dem System Poulsen in Eigenleistung.
Atas saran Dr. Ing N. Koomans, seorang perintis teknologi radio di Belanda – Mentri Koloni Belanda memilih teknologi alternator untuk merealisir sarana komunikasi radio dari Belanda dan Jawa, dengan memesan alternator (?) dari Telefunken dengan daya sebesar 800KW.
Dr. Ing. De Groot, kepala dinas radio di PTT Banding, punya pendapat lain. Dia lebih percaya pada teknologi pemancar sistem busur. Dia mengusul mendirikan pemancar busur dengan daya antara 2,4 s/d 3,6 MW, dengan sistem Poulsen. Pembuatan akan dilakukan dengan matril dan SDM lokal Bandung tanpa diperlukan pertolongan pihak (perusahaan asing)
Dengan kapal AL Belanda “Zeeland” diangkut pemancar alternator Telefunken yang kecil sebagai percobaan. Pemancar itu dipasang di stasiun radio di Cililin.. Sebagai antenna juga dipasang kawat antenna dari bukit ke bukit sepertinya sudah dilakukan di Malabar.
Dua gua dibuat di sekitar Radio Malabar untuk melindungi peralatan Radio dan Telekomunikasi lain dapat kena dibom oleh AU Jepang.
Percobaan pertama dilakukan pada gelombang 12km. Pada saat itu gedung kayu yang mengandung induktor antenna mulai kebakar. Sebab medan induksi memanaskan sekrub besi hingga membara.
Sebagai PL digunakan generator DC (600 A) dipinjam dari Tram Jakarta yang didorong oleh motor pesawat terbang Glenn Martin. Kedua peralat didirikan di luar gedung pemancar.
1918. Di stasiun Cililin pemancar alternator Telefunken yang kecil sudah beroperasi.
Telegram pertama diterima di stasiun Blaricum, terkirim dari Radio Cililin (alternator Telefunken) pada gelombang 6 km.
Dalam telegram tsb. Dilaporkan detail dari letusan Gunung Garut.
Berapa hari kemudian di Blaricum juga diterima sinyal test yang terpancar dari Radio Malabar dengan hasil baik.
1920. Radio Malabar dan Radio Cililin diterima jelas di Jerman oleh Telefunken di Geltow. Mereka menggunakan antenna sejenis seperti dikirim ke Indonesia.
Di Malabar digunakan jenis antenna yang baru. Daripada diantara 2 menara antenna itu terpasang diantara dua bukit gunung, diatas lembah – jenis antenna itu direferensikan sebagai Antenna Gunung.
Hingga saat ini, sebagai stasiun percobaan, di Radio Cililin berdiri Alternator berdaya sekitar 100kW.
Disini cuga dipergunakan jenis antenna gunung, walaupun dengan ketinggian hanya 150m (33-50% dari antenna Malabar).
1921. Pada gedung di Radio Malabar, fondasi lapisan bawah yang terdiri dari batu sisa ledakan, lapisan kedua yang terdiri dari beton yang diperkuat oleh besi, serta fondasi khusus untuk Alternator sudah selesai dubangun. Alas lantai atas dari beton, dimana akan terpasang para mesin-mesin, sedang dalam konstruksi.
1922. Dari Malabar mulai dikirim telegram pemerintahan untuk di rekam di stasiun penerima di Sambeck di Belanda. Tanda panggilan yang digunakan alternator Telefunken di Radio Malabar adalah “PKX”.
1923. Pemancar busur raksasa di Radio Malabar sudah beroperasi. Inti magnet besi berbobot 185 ton, kedua induktor medan magnetik berbobot 20 ton dan kamar busur dari perunggu berbobot 4 ton.
Sinyal yang dipancarkan dari Radio Malabar (dari pemancar busur maupun pemancar alternator) diterima dengan baik di Leiden.
Pesta peresmian sarana komunikasi radio Jawa – Belanda diselenggarakan di Malabar.
1925. Perhubungan Belanda – Jawa pertama melalui HF (gelombang kerja sekitar 42m).
1926. Didirikan “Bandoengsche Radio Vereeniging BRV”. ketua awal adalah I.G. Prins. (meliputi siaran radio umum, bukan telegram).
Percobaan awal oleh BRV (Radio lokal), studio berada di lantai atas dari percetakan “Vorkink” (TB Sumur Bandung).
Kemudian BRV dioperkan oleh NIROM (Nederlandsch Indische Radio Oemroep Maatschappij).
1927. Ratu Belanda berpidato melalui siaran radio kepada penduduk Belanda di Indonesia.
Untuk mengingat kepada peristiwa itu didirikan sebuah patung di Lapangan Citarum / Bandung. Patung itu dibongkar pad tahun 50an karena dianggap melanggar kesusilaan.
C.J. de Groot wafaat waktu berjalanan melalui Laut Merah ke arah eropa di atas kapal laut.
Sebagai kehormatan kepada C.J. de Groot dinamakan jalan di Bandung, yang sekarang Jalan Siliwangi.
Hancurnya Radio Malabar
1942. Beberapa saat sebelum pasukan Jepang masuk ke kota Bandung, para petugas Radio Malabar mengungsi ke Yogyakarta
Radio Malabar diserang oleh AU Jepang dengan bom.
Petugas PTT, C. van der Berg menghancurkan beberapa peralatan penting (di antaranya tabung) di stasiun Malabar. Dengan ini stasiun Malabar jatuh ke tangan Jepang walaupun dalam kondisi tidak siap operasi, tapi secara seluruhnya masih utuh. Setelah terjadi kapitulasi C. van der Berg ditugaskan untuk mereparasi kerusakan pada stasiun Malabar supaya siap operasi. Sejauh diketahui, selama berlangsungnya PD 2 reparasi itu tidak berhasil.
Kepala Radiolabor PTT Willem … Einthoven serta Ir. Henk Leis Levonbach Leunis dan Hasenstab ditangkap oleh Jepang dan dikirim ke Tokyo. Dijkstra serta keluarganya ditangkap oleh pasukan Jepang dan masuk penjara. Kepala Dinas Radio PTT Bandung, W. Einthoven juga ditangkap dan dimasukkan penjara di Jepang. Dia tidak kembali dari tawarannya.
Dijkstra serta keluarganya akhirnya dibebaskan dan berhasil pengungsi dengan kapal karet “de Oranje” ke arah Belanda pada akhir tahun 1945.
1945. Mesin-mesin yang ada di dalam stasiun Malabar dipindahkan ke stasiun radio pemancar di Dayeuh Kolot.
1946. Stasiun Radio Malabar dirusak total oleh pada Pejuang Indonesia.
Djaka Rubijanto mengabari: Saya pernah ekerja di Setasiun Radio Penerima Telkom di Rancaekek, Bandung. Salah seorang teman kerja saya yang lebih senior, H. Entang Muchtar (alm) sebelumnya pernah bekerja di Setasiun Radio Pemancar Malabar (Gn. Puntang), bercerita bahwa demi perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dia terpaksa menjalankan tugas untuk menghancurkan setasiun radio tersebut sebagai politik bumi hangus agar tidak dimanfaatkan oleh NICA (Nedelandsh indie Civil Administration). Maka anda kini hanya bisa melihat bekas-bekasnya belaka.
Jawatan PTT kemudian membangun setasiun radio pemancar pengganti di Dayeuhkolot Bandung. Adapun Jawatan Penerangan membangun stasiun radio RRI Bandung di tempat lain. Kisah tersebut juga ada di buku Her Suganda, ‘Jendela Bandung’.
Kepala Stasiun di Radio Malabar secara berurutan menjadi Mr. Noven, Mr. Srandenberg, Mr. Hodeski, Mr. Soedirdjo, Mr. Wino, dan terakhir Mr. Salim.
–
Kalau ada upaya serius untuk memperbaiki kawasan Gunung Puntang sebagai area wisata, saya pikir salah satunya adalah dengan membuat kembali plang ini. Foto yang menjadi latar belakang bisa diusahakan. Sementara tulisannya bisa direkonstruksi ulang berdasarkan apa yang sudah saya tulis di atas. Ini penting karena mau tidak mau Radio Malabar adalah bagian dari Gunung Puntang sebagai area wisata. Kalau tidak dalam bentuk plang, mungkin disediakan dalam bentuk fotokopian. Jangan sampai orang datang hanya sekedar menikmati alamnya atau kemping, tapi tidak tahu di situ pernah ada sebuah bangunan yang merupakan bagian dari sejarah perkembangan radio di dunia.
Sekarang, sebelum saya muat dan bahas foto-foto yang saya ambil kemarin, ada baiknya saya tuliskan masukan-masukan untuk tulisan sebelum ini. Selain itu juga beberapa tambahan lain yang relevan dari dokumen yang saya temukan sendiri kemudian :
1. Di depan bangunan utama Radio Malabar ada sebuah kolam yang kini dijuluki “kolam cinta”. Barangkali alasannya adalah karena bentuknya yang mirip hati, tapi ada juga yang mengatakan kalau pacaran di kolam itu, maka hubungannya akan langgeng (!). Saya kaget juga ketika diberitahu oleh Pak Gatot Dewanto (YE1GD) bahwa bentuk kolam itu sebenarnya adalah tanda panah yang menunjuk ke negara Belanda. Saya cek menggunakan Google Earth dan tampaknya benar. Saya bilang ‘tampaknya’ karena kalau ingin persis harusnya diusahakan dilihat menggunakan peta datar, bukan globe.
Itu sebenarnya menjawab keheranan awal saya. Orang Belanda selalu membuat bangunan dengan wawasan pada mata angin. Ketika pertama menemukan tempat ini di Google Earth saya langsung heran, kenapa bangunannya tidak searah ke mata angin manapun ? Rupanya memang bangunannya dihadapkan sesuai dengan arah lurus ke Belanda.
Perhatikan gambar di bawah ini. Sebelah kiri adalah kolam cinta dari Google Earth yang saya tempatkan di bawah kompas. Sebelah kanan adalah gambar yang saya peroleh pada sebuah publikasi tahun 1925 (Telefunken Zeitung). Keduanya menunjuk arah barat daya.
Saya baru sadar bahwa frase Richtung Holland artinya adalah “arah ke Belanda”. Jadi betul, kolam cinta itu sebenarnya adalah tanda panah.
2. Nama lengkap pendiri Radio Malabar adalah Dr. Cornelius Johannes de Groot. Sebuah obituari dalam penggalan sebuah dokumen dapat ditemukan di sini. Nama ini ternyata sempat membuat bingung para anggota amatir Belanda di Indonesia karena keponakannya juga memiliki nama de Groot. Sebenarnya nama lengkap keponakannya itu adalah Alexander Constant de Groot. Ia adalah orang yang merancang dan membangun BRV (Bataviasche Radio Omroep Vereniging) alias Radio Batavia dan penasihat teknis untuk Radio Bandoeng yang lebih dikenal dengan callsign-nya waktu itu, yaitu PMY (padahal nama sebenarnya adalah Bandoengsche Radio Vereeniging). Ia lahir di Bogor 6 Agustus 1896 dan setelah di kirim ke Belanda untuk mendapat pelatihan, ia dikirim lagi ke Indonesia tahun 1924 dan diberi pekerjaan di perkebunan teh Rongga di Gunung Halu, sebuah tempat 80 Km barat daya dari Bandung. Ia tidak betah dengan pekerjaannya itu karena pada dasarnya minatnya ke bidang teknik. Ia sendiri kemudian menjadi anggota amatir radio dengan callsign PK1PK, dan menjadi presiden pertama perkumpulan radio amatir di Indonesia. Ia meninggal di Hague pada 23 April 1973.
Berikut ini gambar dari Dr. Cornelius Johannes de Groot dan Alexander Constant de Groot :
Tampak A.C. de Groot yang ketika itu berusia 75 tahun dengan hasil rekonstruksi dari pemancar yang digunakan di BRV, yang ditampilkan pada sebuah acara reuni pada 29 Juni 1971. A.C. de Groot memanggil pamannya itu dengan panggilan Oom Appi.
3. Pak Gatot Dewanto (YE1GD) lagi-lagi membuat kaget saya dengan mengatakan bahwa Dr. C. J. de Groot ketika itu sempat memperlakukan pembangunan Radio Malabar sebagai “proyek pribadinya”. Terus terang ini agak terdengar kontroversial buat saya, meskipun bisa terdapat alasan yang masuk akal untuk mengatakan itu. Pertama, ada kemungkinan untuk mengatakan bahwa ia menggunakan uang pribadinya ketika ia membeli pemancar Arc Poulsen di San Fransisco (1917). Kedua, setahun kemudian otoritas Belanda membeli dua pemancar Telefunken: satu dipasang di Belanda, dan satu dimaksudkan untuk dipasang di Malabar. Ketika itu dikatakan :
When Dr. de Groot’s own Poulsen type transmitter failed during the opening ceremony on 5 May 1923, he even did not consider to communicate with Holland by means of the Telefunken transmitter, to transfer a message to Dutch Queen Wilhelmina, who desperately waited for a radio message from Dutch Indies (now Indonesia).
Kata-kata Groot’s own Poulsen type transmitter menegaskan bahwa itu memang milik pribadinya, sehingga tidak heran ia berani tidak patuh pada otoritas di negaranya.
4. Mengenai pemilihan lokasi Radio Malabar, masih informasi dari Pak Gatot, itu lebih karena pertimbangan kontur geografis yang memungkinkan dipasangnya antena yang ukurannya raksasa: 5 kawat sejajar yang panjangnya 2 kilometer. Kebetulan lokasinya ada diapit dua gunung, yaitu gunung Malabar dan gunung Haruman, sehingga penyangganya bisa diletakkan pada sisi kedua gunung tersebut, seperti digambarkan sebagai berikut :
5. Berkenaan dengan frekuensi kerja Radio Malabar pada tulisan pertama dikatakan bahwa itu adalah pada 49,2 Khz dengan panjang gelombang 6,1 Km. Sementara itu sumbernya tidak jelas, saya menemukan pada sebuah dokumen berangka tahun 1928, sebagai berikut :
Karena sifatnya selalu dicoba, tentu frekuensi kerja diubah-ubah juga, namun sekurangnya kali ini ada referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Pada kutipan di atas dinyatakan bahwa siaran Radio Malabar pada 17,4 meter dapat diterima di Inggris.
6. Sebagai catatan sejarah saya membatin sebenarnya kapan pertama kali terjadi kontak antara Belanda dan Indonesia ? Pada masa itu yang disebut kontak barangkali tidak satu macam; bisa kontak telegrafi / morse) atau telefoni / audio (tunggu, tapi apakah di sini sudah benar-benar bisa dikatakan telefoni ?).
Ketika saya search, saya menemukan bahwa 5 tahun lalu, persisnya 11 November 2007 diadakan peringatan 80 tahun hubungan gelombang pendek Belanda Indonesia, yang disponsori oleh Radio Maragitha di Bandung dan Radio Nederland Wereldomroep. Kutipan berita tentang ini di harian Suara Pembaharuan Daily dapat dilihat di sini. Saya langsung curiga ketika di situ dikatakan :
”Setidaknya hal itu diakui oleh Wakil Duta Besar Belanda, K Ad Koekkoek yang hadir dalam peringatan 80 tahun hubungan gelombang pendek Belanda – Indonesia atas kerja sama Radio Nederland Wereldomroep (RNW) dan Radio Maragitha, di Hotel Savoy Homann, Bandung, 11 November lalu. “Hubungan radio gelombang pendek pertama kali antara Bandung dan Hilversum terjadi pada Maret 1927,” tutur Koekkoek, dalam sambutannya pada acara bertema “Radio, Riwayatmu Dulu” itu.”
Kalau itu antara Bandung – Hilversum, entah, mungkin bisa saja pada Maret 1927. Saya sendiri tidak tahu. Tapi apakah itu representatif untuk dikatakan sebagai hubungan gelombang pendek pertama antara Bandung – Belanda ? Sekurangnya, yang saya temukan mengatakan bahwa sebelum tahun itu sudah terjadi kontak gelombang pendek, yaitu pada 1925 :) Bisa di cek di sini. Bahkan itu dikatakan masuk ke buku World’s Record. Itu terjadi antara Radio Malabar dan Radio Kootwijk.
Barangkali upaya menulis saya ini kurang sistematis. Saya akui itu, dan memang ini tidak diniatkan untuk menulis sejarah. Saya melakukannya lebih dalam rangka bersenang-senang secara pribadi :) Saya akan tulis lagi untuk bagian ketiga karena masih ada informasi lain yang menarik. Sementara saya juga menunggu respon teman-teman untuk bagian kedua ini. Terima kasih.
Saya menemukan terlalu banyak data, yang ketika saya baca membuat saya lumayan bingung (karena sebagian besar dalam bahasa Belanda). Terjemahannya via Google Translate ke bahasa Indonesia kacau, maka saya berharap ke bahasa Inggris. Ternyata itu juga sama kacaunya. Nama de Groot kadang diterjemahkan de Groot, tapi kadang menjadi Great, bahkan Davis! Aneh. Akan tetapi somehow saya harus menyelesaikan seri tulisan ini. Saya putuskan ini akan saya akhiri hingga bagian 4 nanti. Ini bukan berarti saya berhenti. Saya bahkan telah memulai sesuatu tentang ini, yang kurang lebih satu bulan dari sekarang akan saya umumkan :)
Pendirian Radio Malabar tidak lepas dari kebutuhan Komunikasi antar benua dari Belanda ke Indonesia, dan sebaliknya. Di awal masa perang dunia pertama, infrastruktur komunikasi sebenarnya sudah ada. Bentuknya antara lain :
1. Sambungan kabel yang menghubungkan Jerman, Inggris, dan Amerika yang juga dapat dimanfaatkan oleh Belanda. Sambungan kabel ini dalam sejarahnya diperluas hingga India, Cina, Singapura, dan Australia. Kabel ini ditempatkan di dasar laut, dan disebut Sub-Marine Communication Cable. Akan tetapi pada awal perang dunia pertama tersebut Belanda bermusuhan dengan Jerman dan komunikasi melalui kabel tersebut tidak terenkripsi. Padahal sebagian besar isi komunikasinya berkenaan dengan kepentingan militer.
2. Eksperimen komunikasi dari Nederland ke kepal-kapalnya di laut menggunakan telegrafi (morse), tapi jaraknya tidak bisa jauh, apalagi sampai Indonesia (dulu disebut Dutch East Indies). Informasi ini dari situsnya Rudo Hermsen.
Keduanya jelas memberikan batasan yang tidak memungkinkan komunikasi antara Belanda – Indonesia. Kebetulan Johannes Cornelius de Groot sedang membuat sebuah thesis yang judulnya The Influence of Tropical Climate on the Radio (de invloed van het tropisch klimaat op de radioverbinding). Thesis itu dikembangkan berdasarkan pengalamannya mendirikan stasiun telegrafi di Sabang (1911) dan tiga berikutnya di Ambon, Timor, dan Situbondo (1913). Pada tanggal 5 Juni 1916, ia lulus mempertahankan thesisnya tersebut dengan predikat cum laude, di bawah bimbingan Prof. C.L Vanderbilt di Belanda. Inti dari thesisnya adalah hubungan langsung radio antara Belanda dan Indonesia pada dasarnya mungkin diwujudkan. Dalam perjalan kembalinya ke Indonesia, kapal yang ditumpanginya mampir di San Francisco; tempat di mana ia akhirnya mengenal dan membeli pemancar Arc Poulsen.
Setelah tiba di Indonesia (Bandung) pada akhir tahun 1916, de Groot dipromosikan sebagai kepala Radio Service. Ia menerima posisi itu, apalagi sejak usia 15 tahun ia sudah menjadi seorang amatir radio yang gemar bereksperimen dengan radio pemanar dan penerima. Ketika itu pemerintah Belanda telah menginstruksikan pembangunan stasiun Radio Malabar, yang pada awal tahun 1918 telah selesai berdiri. Percobaan awal untuk transmisi telegrafi ternyata berhasil, tapi sayangnya di Belanda sana belum ada stasiun penerimanya. Untuk sementara, alat penerima transmisi telegrafi ini dibuat sendiri dan dipasangkan pada kapal-kapal perang Belanda yang mondar-mandir Belanda – Indonesia.
Pemerintah Belanda memberi apresiasi pada usaha de Groot. Ini dibuktikan dengan keluarnya sebuah surat tertanggal 1 September 1917. Surat itu diterbitkan oleh Departemen Kolonial dan ditujukan ke Departemen Kelautan :
Tindak lanjutnya adalah respon dari pemerintah Belanda dalam bentuk studi kelayakan untuk komunikasi telegrafi tersebut. Ini dipimpin oleh Dr. N. Koomans, yang akhirnya mengarah pada pembelian dua mesin buatan Telefunken. Satu ditujukan untuk dipasang di Belanda, dan satu lagi di Radio Malabar. Tapi di Radio Malabar sudah ada Arc Poulsen yang dibeli de Groot. De Groot tetap bersikeras menggunakan Arc Poulsen meskipun mesin Telefunken itu akhirnya sampai Bandung juga. Stasiun telegrafi di Belanda itu akhirnya dibangun di Sambeek, tepatnya di sebuah pedesaan bernama Kootwijk. Maka stasiunnya disebut Stasiun Kootwijk. Dengan ini maka dapat disimpulkan bahwa Radio Malabar sebenarnya sudah berdiri cukup lama sebelum peresmiannya tahun 1923. Tahun itu baru diresmikan karena ketika itu di Belanda sudah ada stasiun yang dapat memberi respon.
Akhirnya tanggal 5 Mei 1923 stasiun Radio Malabar diresmikan, melalui sebuah acara yang dihadiri Gubernur Jendral Dirk Fock. Sekurangnya situs di Wikipedia dan situs biografi-nya de Groot mengatakan bahwa hari itu transmisi telegrafi dari Radio Malabar ke Kootwijk mengalami kegagalan. Dirk Fork ketika itu bermaksud mengirim pesan ke Ratu Belanda. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana hari itu jadinya. Ada yang bilang itu karena petir, ada yang bilang itu karena transmitter Arc Poulsen-nya gagal bekerja. Katanya juga peresmian jadi ditunda. Beberapa hari kemudian baru transmisi itu berhasil. Ini semua diliput oleh media cetak ketika itu, yang menimbulkan cercaan pada de Groot. Sebuah komisi penyelidikan pada kegagalan itu bahkan dibentuk, tapi de Groot tidak mendapatkan hukuman.
Ini agak overexposed, tapi beginilah suasana demo transmisi telegrafi ketika itu : (sumber: koleksi foto museum Tropen – Belanda)
Dengan pesatnya perkembangan teknologi radio ketika itu, yang terutama disokong oleh eksperimen-eksperimen yang dilakukan para anggota amatir radio, komunikasi telegrafi yang menggunakan daya listrik besar (ribuan kilowat) pada gelombang panjang (long wave) mendapat tantangan dari gelombang pendek (short wave) yang hanya menggunakan beberapa kilowat saja. Panjang gelombangnya pun hanya berkisar 10 hingga 100 meter namun mampu menjangkau jarak yang jauh. Beberapa testimoni awal tentang gelombang pendek ini :
1. Seseorang yang bernama Alexander Constant de Groot yang tidak lain adalah keponakan dari Johannes Cornellius de Groot, yang entah dia, atau seseorang yang bernama Ir. Langendam, pada bulan Juli 1925 telah berhasil melakukan kontak telegrafi pada gelombang pendek dengan Stasiun Kootwijk. Saya tidak pasti tentang ini karena teks yang saya baca dari bahasa Belanda yang diterjemahkan sangat kacau oleh Google Translate. Dokumennya saya dapatkan dari apa yang ditulis oleh J.V. Drunen pada sebuah publikasi organisasi amatir radio pertama di Indonesia (Nivira), yaitu CQ-PK.
2. Pada bulan Maret 1927, stasiun penerima di Rancaekek menerima sebuah pancaran dari laboratorium Philips di Eindhoven pada gelombang pendek. Isinya adalah siaran kata dan musik. Pengirimnya adalah J.J. Numens, seorang mahasiswa sekolah teknik (TH) di bawah bimbingan Dr. Balth. van der Pol.
C.J. de Groot mengakui kelebihan transmisi pada gelombang pendek, namun meragunakan pada praktiknya jika terlalu banyak stasiun yang bekerja sekalilgus. Ia akhirnya melakukan percobaan yang sama dengan memodifikasi apa yang ada di Radio Malabar untuk transmisi telefoni pada gelombang pendek (17,4 m) hingga Mei 1927. Koomans pada saat itu juga melakukan hal yang sama. Keduanya digambarkan sebagai bersaing sengit. Di satu sisi de Groot menggunakan Arc Poulsen, di sisi lain Koomans di Kootwijk menggunakan Telefunken. J.G. Visser yang menulis biografi de Groot mengatakannya sebagai “De verrichtingen van de vooraanstaande radiorivalen begonnen zo langzamerhand het karakter van een nek-aan-nekrace te krijgen” (diterjemahkan oleh Google Translate menjadi “The operations of the leading radio rivals began gradually the character of a neck-and-neck race to get”.)
Dengan diproduksi-secara-massalnya stasiun pemancar oleh Philips dan gelombang pendek semakin banyak terisi oleh transmisi dari berbagai negara, sebuah konperensi untuk mengatur itu diadakan di Washington. C.J. de Groot datang ke acara itu, yang sepulangnya ia memutuskan untuk pergi ke Belanda. Namun di atas Laut Merah, Terusan Suez, ia meninggal karena serangan stroke. Tidak ada informasi tentang apa yang terjadi dengan Radio Malabar setelah de Groot meninggal. Namun orang yang menjadi kepala stasiun Radio Malabar berturut-turut dituliskan oleh plang di Gunung Puntang, yang telah saya tulis sebelum ini. Sebagai tambahan orang penting di samping de Groot adalah Willem Vogt dan Klaas Dijkstra. Dijkstra sangat rajin membuat catatan, sehingga tahun 2006 diterbitkan sebuah buku yang memuat semua catatannya. Sayang buku ini sudah langka di Belanda, yang ada pun sudah bekas, sementara harganya sangat mahal.
Hal penting yang harus dikemukakan adalah tentang mengapa Radio Malabar hancur (atau dihancurkan). Ada beberapa penjelasan yang untuk semuanya saya tidak memilih salah satu, meski ada yang tidak masuk akal juga :
1. Radio Malabar hancur karena banjir. Menurut saya ini ngawur. Rudo Hermsen yang menulis ini di situs sejarah pabrik peralatan transformator-nya. Mana mungkin Gunung Puntang bisa banjir ? Memang ada sungai di sebelahnya (Sungai Cigeureuh), tapi sangat kecil kemungkinannya untuk bisa meluap hingga ke Radio Malabar.
2. Radio Malabar hancur karena dibom oleh pesawat-pesawat Jepang. Ini juga tidak masuk akal karena ketika pertama Jepang masuk yang dilakukannya adalah propaganda. Tentu saja pemancar radio sangat strategis untuk keperluan itu. Sebuah tulisan blog pada situs ini memperjelas hal itu berdasarkan sebuah buku karangan Voskuil.
3. Pihak Belanda mempreteli semua mesin dan peralatan yang ada di Radio Malabar dan menghancurkan sisanya karena khawatir akan digunakan oleh Jepang. Kalau dipreteli masih masuk akal, tapi kalau dihancurkan saya agak kurang percaya. Situs yang mengutip bukunya Voskuil tadi menjelaskan bahwa bahkan pihak Jepang sempat menggunakannya.
4. Dihancurkan oleh para pejuang kemerdekaan. Rudo Hermesen masih di situsnya itu menjawab salah satu pengunjungnya dengan mengutip Hans Vles, pengarang buku Hallo Bandung, menuliskan: “Malabar is rond 1947 opgeblazen door de tegen de Nederlanders opgehitste pelopors/pemuda’s, de merdeka schreeuwende jongens met rood/witte banden om de kop.” (Malabar is inflated by around 1947 agitated against the Dutch pelopors / pemudas’ s, the Merdeka screamingboys with red / white bands around the head.). Ini lebih masuk akal, yang kalau kita lihat dari sisi sejarah Indonesia, pada sekitar tahun itu (sebenarnya 1946), terjadi peristiwa Bandung Lautan Api, di mana fasilitas-fasilitas Belanda di Bandung dihancurkan / dibakar untuk mencegah mereka datang kembali).
Ada tanggapan yang menarik yang datang dari rekan Amatir Radio, yaitu Pakde Bam (YB0KO). Katanya beliau pada tahun 1976 mengantarkan seorang warga Belanda yang bernama de Groot dan mengaku masih ada hubungan saudara dengan pendiri Radio Malabar itu. Wah, saya kaget membaca ini. Apakah ini yang dimaksud adalah Alexander Constant de Groot yang callsign nya PK1PK ? Pada salah satu edisi buletin CQ-PK tahun 1981 ditulis :
yang kalau diterjemahkan kira-kira menjadi :
“Alexander Constant de Groot telah meninggal di Hague pada 23 April 1973. Sebagai seorang ketua pertama dari perkumpulan radio kita (Komite PK), beliau telah melakukan banyak hal untuk mengumpulkan kembali para anggota PK senior. Kami sangat berterima kasih pada usaha rintisannya itu.”
Jadi siapa sebenarnya de Groot yang ditemani oleh Pakde Bam itu ? Saya juga tidak tahu, he, he… Tapi kalau dilihat ternyata ada tradisi untuk menggunakan nama marga pada orang yang berbeda. Bisa jadi yang datang tahun 1976 itu adalah de Groot yang lain. Atau, apakah mungkin si van Drunen itu menuliskan data yang salah ? Jangan-jangan itu memang A.C. de Groot ? Mudah-mudahan Pakde Bam masih bisa mengenali apakah wajahnya sama dengan foto yang saya muat pada tulisan sebelum ini.
Isu lain yang diangkat oleh Pakde Bam adalah apakah aktifitas komunikasi di Radio Malabar dapat dianggap sebagai cikal bakal kegiatan amatir radio di Indonesia ? (sekarang organisasinya dinamakan ORARI – Organisasi Amatir Radio Indonesia). Jawaban tentang ini menurut saya ada pada figur J.C. de Groot. Di satu sisi ia adalah pendiri dan teknisi utama Radio Malabar dan di sisi lain, bahkan dari sejak usia 15 tahun ia dicatat sebagai seorang amatir radio yang cakap. Bagi saya ada semacam conflict of interest di sini. Bisa saja terjadi ia memang melakukan eksperimen amatir radio secara pribadi, tapi ia melakukannya di Radio Malabar. Termasuk juga ketika ia melakukan kontak melalui gelombang pendek dengan Koomans dengan sebelumnya memodifikasi pemancar Arc Poulsen-nya. Figur de Groot ini dipertegas lagi ketika ia memperbaiki perlakuan yang diberikan pada seseorang yang bernama L.W.H. van Oosten, seorang petugas jaga stasiun telegrafi di pulau Sabang. Oosten melakukan eksperimen pada perangkat penerimanya, tapi kemudian mendapat teguran keras dari otoritas Belanda dan menganggapnya sebagai pelanggaran serius. De Groot ketika mendengar itu malah membelanya dan justru malah membuatnya mendapat penghargaan dari otoritas Belanda di Batavia. Saya berpendapat, kasus ini bisa menjadi gambaran pada apa yang mungkin juga dilakukan de Groot di Radio Malabar. Karena dedikasi dan cintanya pada radio, menjadi sullit untuk dibedakan ketika ia melakukan eksperimen komunikasi itu apakah sebagai pribadi atau sebagai teknisi Radio Malabar. Dengan demikian jawaban saya adalah: Radio Malabar memang bukan awal mula dari kegiatan amatir radio di Indonesia. Yang memulainya adalah de Groot yang kebetulan pada saat itu menjadi teknisi utama Radio Malabar.
Saya kira cukup dulu untuk bagian ketiga ini. Ingin saya tutup dengan sebuah pertanyaan: “Apakah kiranya cukup perlu untuk melakukan arkeologi sungguhan pada situs Radio Malabar yang sekarang ?” Maksud saya adalah dengan membersihkan rumputnya, mencoba untuk merekonstruksi ulang bangunannya, dsb, dsb ? Apakah ini terdengar berlebihan ? Tapi bukankah selalu bisa ada pembenaran soal begini kalau dikaitkan dengan kepariwisataan ? Yang saya tidak habis pikir adalah, kalau memang Radio Malabar dulu dihancurkan, apa sebenarnya mudah menghancurkan mesin-mesin dari Smit Transformatoren yang beratnya berton-ton itu ? dan jumlahnya cukup banyak ? Saya curiga masih ada yang tersisa di antara puing-puing itu, … dan itulah yang saya maksud dengan “Sesuatu dari Puing Radio Malabar”.